7 Mei 2012

Masalah Sosial dan Kesadaran Sosialnya

Semua kita tahu bahwa bulan Mei itu bulan penuh sejarah bagi bangsa kita. Pada awal Mei, 1 Mei, kita menghadapi Hari Internasional Buruh –bangsa Indonesia sejatinya terbentuk dari mental buruh atau bekerja sama-sama sembari canda-tawa- Selain itu, ada Harkitnas, Hardiknas, Peringatan Marsinah, dan hari-hari penting reformasi 1998. Begitulah sejarah yang tercecer pada bulan Mei ini. Ceceran sejarah itu, selain jadi reflektif sosial, merupakan simbol sosial dalam bangsanya. Sejarah itu adalah penanda dari suatu petanda.

Simbol tersebut ibarat cermin. Ketika kita becermin, kita akan melihat siapa diri kita yang sebenarnya. Apakah di wajah kita ada noda, apakah di wajah kita ada jerawat, apakah di wajah kita ada luka, atau menarik atau tidak menarikkah wajah kita. Itulah sekelumit pencerminan tadi. Karena dengan cerminlah kita bisa menyesuaikan diri, baik itu menyesuaikan diri terhadap lingkungan maupun menyesuaikan diri terhadap pasangan.

Sesungguhnya, ceceran sejarah tadi merupakan masalah-masalah sosial yang takkunjung usai, atau setidaknya menemui titik klimaks –ibarat ingin mencium kekasih, selalu saja ada gangguan-. Misalnya, sejarah Hardiknas, sebuah momentum perjuangan pendidikan bagi bangsa Indonesia –kala itu masih Nusantara- yang dilakukan oleh Bung Oetomo. Buktinya, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) atau HDI (Human Development Index) kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara Asia lainnya, apalagi dibandingkan negara-negara di dunia. Pendidikan sebagai salah satu unsur penting terhadap pembangunan sosial belum pernah mencapai titik puncaknya terbaiknya, kecuali dalam hal kontribusi guru ke Malaysia ketika Malaysia gencar membangun negaranya melalui pendidikan.

Ada banyak masalah sosial yang masih kita hadapi sampai saat ini, setelah 60 tahun lebih merdeka. Selain permasalahan yang ada di dalam cermin yang disebut di atas, masalah-masalah sosial lainnya yang sedang kita hadapi, misalnya korupsi, kemacetan, konflik antarwarga, konflik antar kelompok, hingga permasalahan fundamen itu semua, yakni kemiskinan.

Dalam kehidupan bernegara, titik permasalahan sosial seperti ini memang ada pada titik tertinggi di struktur sosial, yakni pemerintah (negara). Hal ini sudah sering diungkap di dalam tulisan-tulisan pada umumnya. Di sini, dalam tulisan ini, saya akan menyoroti titik permasalahannya pada individu (unsur pembentuk sosial).

Dalam konteks ekspansi kapitalisme di berbagai lini saat ini, termasuk di dalam pikiran pejabat dalam menjalankan fungsi jabatannya, dehumanisasi adalah satu dampak sosial yang patut dicermati. Dehumanisasi merupakan suatu sifat yang merusak atau menghancurkan sifat kemanusiawian. Rakyat-dehumanisasi tadi akan hidup semakin liar ibarat hewan liar –semakin ia dibebaskan semakin ia membuas-. Salah satu wujudnya adalah membeludaknya kepemilikan kenderaan pribadi. Dalam satu rumah saja kita temui ada tiga atau empat mobil, apalagi motor. Padahal, anggota keluarganya hanya tiga orang. Mobil-mobil tersebut cuma sebatas konsumsi makna tanpa melihat fungsi, sebab tidak menyesuaikan orang yang ada terhadap ketersediaan fasilitas di mobilnya. Sehingga, hal itu, merusak nilai-nilai empati sesama individu-manusia karena saling berebut memiliki mobil –harta- sebanyak-banyaknya, tanpa memikirkan kesempatan orang lain untuk memilikinya.

Ketidaksederhaan sikap mendasari hal di atas. Ibaratnya, seseorang yang sudah memegang nasi padang di tangan kanannya masih ingin nasi bakar menu special. Kesederhanaan merupakan cara hidup yang manusiawi. Artinya, kita hidup sesuai kebutuhan saja, baik kebutuhan sendiri maupun kebutuhan keluarganya. Mengapa kita pilih hidup sederhana sesuai kebutuhan masing-masing saja? Dari itulah, kesadaran tiap-tiap individu sangat penting dicanangkan di pikiran masing-masing.

Kesadaran pun bukan semata-mata tumbuh begitu saja. Perlu adanya peran pemerintah. Pun proses kesadaran didorong oleh tiap-tiap individu itu sendiri, tentunya dengan kesadaran yang berbasis pengetahuan. Misalnya, menanamkan kesadaran tersebut ke dalam materi pengajaran peserta didik. Dengan kesadaran berbasis pengetahuan itu, berarti kita telah memahami mana yang benar dan tepat serta mana yang salah dan tidak tepat. Bila kita tahu pembedaan seperti itu, mental kita pun (sebagai rakyat) secara otomatis tidak akan menjadi mental infantil (mental yang menguntungkan penguasa-kekuasaan) Hal ini serupa adigum klasik, berani karena benar takut karena salah.

Jadi, kembali ke awal ulasan, dengan kesadaran seperti itu sebagai modal becermin (red: melihat sejarah) kita akan mudah menyesuaikan diri untuk menyejahterakan rakyat tanpa masuk ke lubang sejarah. Selayaknya orang becermin, setelah membersihkan diri dan memahami diri, maka ke mana pun kita pergi akan merasa yakin (Pede) sehingga mampu menguasai lingkungan maupun menguasai tujuan. Dengan begitu pula konteks sosial dengan kesadaran sosialnya di dalam melihat sejarah, otomatis kita menguasai tujuan bersama tanpa terjerumus ke ‘lubang hitam’ sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar